Rabu, 01 Juni 2011

SINGKONG VS BURGER


Kebayang nggak punya pacar yang tampangnya mirip Justin Bieber, jago main basket, jago karate dan pintar main gitar ternyata seorang singkong maniak. Andre, pacarku, cowok keturunan Jawa - Australia ini memang aneh. Ia amat terobsesi dengan segala jenis makanan yang terbuat dari singkong. Keripik singkong, combro, misro, getuk bahkan singkong goreng ala kaki lima adalah makanan favoritnya. Kemanapun pergi tak sekalipun ketinggalan salah satu jenis makanan diatas. Awalnya aku berusaha mengerti tapi lama – kelamaan hobinya yang aneh itu membuatku kesal. Masa sih makan di fast food terkenal harus membawa gorengan. Mau ditaruh kemana wajahku pada orang sekitar melihat aku asyik makan burger sedang ia makan singkong goreng.
“ Mau Cha?” tanya Andre menawariku sekantung keripik singkong saat kami pulang bareng.
Aku menggeleng keras.
“ Bosen!” jawabku ketus.
“ Ini beda lagi rasanya dari yang kemarin. Sekarang rasa sapi panggang” terangnya berusaha membujukku.
“ Nggak ah!” tolakku
“ Nih, cobain deh ! ujarnya seraya menyuapiku beberapa potong keripik singkong kutepis tangannya dengan kasar. Ia terperanjak kaget.
“ Kamu kenapa sih, Cha?” tanyanya heran
“ Kalo aku bilang nggak mau ya nggak mau !” ujarku dengan nada tinggi.
“ Iya, tapi jangan kasar gitu dong ! aku khan cuma bercanda “ sentaknya dengan nada yang sama tingginya denganku.
“ Bercanda kamu berlebihan !” geramku.
“ Kamu aja yang kelewat sensi” ujarnya tidak mau kalah.
“ Kamu yang kelewatan!” balasku
“ Kamu !”
“ Kamu !”
“ Udah turunin aku disini!” jeritku tidak tahan dengan adu teriak nggak jelas.
“ Ya udah!” jawabnya keras sambil mengerem mobilnya mendadak dan membuka kunci pintu otomotis seolah mempersilahkanku turun. Dengan kesal aku turun beberapa detik kemudian ia pergi meninggalkanku sendirian. Wajahku memanas air mata membendung di pelupuk mata. Kutahan agar tidak runtuh karena malu menangis di tengah jalan. Andre benar – benar tega padaku.
“ Dasar singkong sialan !” jeritku kesal sambil menendang batu yang ada di depanku dengan sekuat tenaga.
***
“ Ya, ampun jadi lo berantem ama Andre cuma gara – gara singkong?” tanya Reina heran.
Aku mengangguk kesal.
“ Gue sebel, capek juga ribut ama hal gak penting kaya gini “ keluhku.
Reina terbahak
“ Gue juga heran, pasangan lain ribut gara – gara cemburu ini karena singkong” ujarnya geli.
Aku cemberut.
“ Ya udah dari pada bete kita makan burger d’bons yuk! Lo kan paling suka makan disitu” ajaknya berusaha menghiburku.
Hingga malam hari tak sedetikpun hpku berbunyi. Kutunggu sms atau telepon dari Andre tidak juga ada. Ia benar – benar kelewatan padahal selama ini aku selalu toleran dengan hobinya itu. Jadi nggak salah khan jka aku juga minta ia toleran dengan hal yang kusuka. Hingga aku tertidur dengan hp ditangan Andre tak juga berusaha menghubungiku.
Ini hari kedua tak ada kontak dengan Andre. Tadi siang aku mengalah dengan menemuinya di kelas. Ia bahkan tidak menyapaku padahal semua temannya sepertinya mengerti jika kedatanganku mencarinya. Kalau saja aku tidak menyabarkan diri mungkin tadi sudah ribut lagi melihatnya cuek. Sebenarnya apa sih maunya ? jika masalah kemarin itu di jadikanya alasan untuk menjauhiku bilang saja terus terang tidak usah bersikap seperti ini. Ku ambil hp lalu mengetik pesan untuknya.
To : Andre
Klo km sengaja bkin mslh kemarin sbg alasan wat qt putus, ngomng aja terus trang
Message sent
Beep … beep … kubuka hpku balasan dari Andre
To : Icha
Siapa yg mau putus?
Message sent
Beep … Beep
To : Andre
Kamu !
Message sent
Beep … beep
To : Icha
Kamu kali !
Message sent
Gak sopan ! ku banting hp ke tempat tidur. Andre tuh emang gak pernah mau ngalah. Lewat smspun bawaanya ngajak berantem. Mungkin sebenarnya hubungan ini gak bisa diteruskan lagi. Aku capek ribut terus dengannya.
***
“ Aku mau putus dari Andre, Ren!” ujarku pada Reina yang sedang main komputer dikamarku.
“ Hah, putus ? yang bener aja, Cha ! masa gara – gara masalah sepele kalian mesti putus, emang gak bisa diomongin lagi “ ujar Reina gusar.
“ Gue udah berusaha baik, tapi sikap Andre makin nyebelin”
“ Coba deh lo jangan sms ngomong langsung aja, suruh Andre kesini” ujar Reina berusaha membujukku untuk bersikap tenang, ia memberikan Hpku agar menelpon Andre. Sejenak aku ragu, tapi mungkin benar ucapan Reina jika di bicarain baik – baik mungkin hubunganku bisa diselamatkan. Kupencet nomer Andre dan kaget saat yang menjawab bukan suaranya.
“ Halo, bisa bicara dengan Andre?” tanyaku ragu takut salah memencet nomer.
“ Hm, Andre ya !” ujar suara renyah seorang cewek dari seberang sana.
“ Ini nomer Andre khan?” tanyaku dengan hati berdebar.
“ Iya, tapi Andrenya lagi …”
Belum sempat suara itu melanjutkan kalimatnya terdengar suara Andre dibelakang “ siapa yang?”.
Aku buru – buru menutup teleponku. “Yang” Andre memanggil “yang” pada cewek itu. Aku meraba dadaku yang berdegup kencang. Selama kami pacaran tidak pernah sekalipun Andre memanggilku dengan mesra seperti itu. Apa itu pacar barunya? Apa itu sebabnya ia cuek padaku dua hari ini? apa itu yang membuatnya mencari gara – gara dengan memakai keripik singkong agar aku marah dan minta putus dengannya? Sejuta pertanyaan berkumpul jadi satu dibenakku. Melihatku terdiam dengan wajah pucat Reina menepuk pipiku. Aku menarik nafas mengatur sakit yang muncul di dada. Saking sakitnya tanpa terasa air mata mengucur deras dari kedua mataku.

Bersambung .....

Dimuat di Majalah Teen 2011

RASA YANG TERTINGGAL


Bau yang menyengat, kotor, becek, dan sumpek langsung terhampar di hadapanku. Tak mungkin orang yang kucari ada disini. Ira pasti salah lihat ! tak mungkin Andre bekerja di tempat seperti ini. ku tutup hidung dengan saputangan untuk menghalau bau amis yang menyebar.
Suara riuh dan suitan jahil terdengar dari kanan dan kiri. Kulanjutkan langkah mencari sosok Andre diantara puluhan orang dipasar tradisional ini. Sepatu mahalku sudah tidak jelas warnanya , begitu juga aroma parfum yang sudah bercampur dengan asap knalpot dari bajaj, motor dan mikrolet. Kulitku mulai memerah karena terpanggang matahari, keringat mengucur deras dari dahi. Sepertinya seluruh sudut pasar ini sudah kutapaki tapi tetap tidak kutemukan dirinya.
“ Bu, mau tanya apa disini ada kuli panggul yang namanya Andre umurnya 23 tahun, tinggi, rambutnya pendek dan kulitnya putih ?” tanyaku pada ibu penjual sembako.
“ Setahu saya kuli disini cuma Ijul, Parjo, Adul, Eman dan kulitnya hitam semua “ jelas si Ibu sambil tertawa seolah tidak percaya atas pertanyaanku.
Aku tersenyum. Andre memang tidak pernah kerja disini sebelumnya. Ia adalah mahasiswa semester akhir di sebuah universitas ternama di Jakarta. Ayahnya seorang pengusaha dan ibunya Manager di bank swasta. Hobinya mengendarai motor mengantarkannya menjadi salah satu pembalab yang mulai punya nama. Beberapa kali ia memenangkan kejuaaran dari mulai tingkat yunior hingga nasional.
Tapi semua itu sirna sejak kecelakaan tragis menimpanya saat pulang latihan. Karena terlalu lelah ia tidak konsentrasi membawa laju motor dan akhirnya bertabrakan dengan truk dari arah yang berlawanan. Hampir dua bulan ia dirawat karena keadaannya yang serius. Gegar otak, tangan kanannya retak, tulang kaki kirinya patah hingga harus dioperasi. Yang lebih mengenaskan dokter tidak mengijinkannya balapan untuk waktu yang tidak bisa ditentukan.
Vonis dokter membuatnya syok. Semangat hidupnya hilang. Ia berubah menjadi sosok penyendiri, pendiam, mudah tersinggung dan gampang sekali marah. Tak lagi kutemukan senyum, sapa mesra hingga rayuan yang dulu membuatku jatuh hati padanya. Andre berubah menjadi sosok yang tidak kukenal. Seringkali ia mengusirku saat menjenguknya. Lain waktu aku melihat ia membentak dan marah – marah pada kedua orang tuanya.
Sekian bulan aku dan keluarganya terus mencoba berbagai cara untuk mengembalikan semangat hidupnya. Aku bahkan rela datang setiap hari untuk menunjukkan sayangku padanya. Sepertinya semua usaha itu sia- sia, puncaknya ia malah nekat kabur dari rumah. Sudah puluhan kali aku menerima info tentang keberadaannya. Dimanapun tempatnya pasti kudatangi. Mall, restoran, halte, stasiun hingga pasar tapi hingga hari ini tetap tak bisa kutemukan sosoknya.
Dimana kamu, Dre ? apa kamu tidak tahu masih banyak orang yang sangat menyayangimu. Terbayang kembali wajah lelah mamamu saat kemarin aku menjenguknya. Ia rela berhenti dari pekerjaanya untuk konsentrasi mencari dirimu. Tak kulihat lagi wajah cantik yang selalu dihiasi make up. Lingkaran hitam tampak jelas dibawah mata pertanda jika ia tidak tidur dengan baik. Aku sampai membatasi waktu kunjungan untuk menjenguknya, bukan karena tidak sayang tapi karena aku tidak sanggup melihat gulir bening yang mengalir dari wajah cantiknya tiap kali menyebutkan namamu.
Andre, tidak bisakah cinta kami membuatmu kuat melewati cobaan ini ? ingin aku berteriak sekeras – kerasnya memberitahumu bahwa kamu tak sendirian.
***

SETAHUN KEMUDIAN
Gundukan tanah merah bercampur bunga terhampar di depanku. Airmataku sudah lama mengering. Luka di hati juga sudah mulai terkikis. Aku memilih pasrah melewati semua ini, tapi tidak dengan Tante Mira. Kepergian Andre membuatnya kehilangan separuh jiwanya. Hampir setahun ia harus bolak – balik masuk rumah sakit hingga akhirnya Tuhan memilih menjemputnya terlebih dahulu. Mungkin Tuhan tidak ingin membuat Tante Mira hidup dalam penantian yang menyiksa dirinya.
“ Terima kasih untuk semuanya sekarang sudah saatnya kamu melanjutkan hidupmu “ ujar Om Adi lirih seraya menepuk pundakku.
Om Adi menarik nafas. Wajah itu terlihat jauh lebih tua dari usianya. Betapa malang dirinya harus ditinggalkan oleh dua orang yang dikasihinya.
Hidup terus berlanjut dan aku tak mau larut dalam kesedihan, cukup Tante Mira yang menderita akibat kepergian Andre. Om Adi memutuskan untuk pensiun dini dan kembali ke kampung halamanya sedangkan aku menyibukan diri dengan kuliah. Besok aku akan memulai tugas pertamaku sebagai tenaga pengajar di sebuah desa kecil di Semarang. Aku ingin sejenak keluar dari kecemasan, kesedihan hingga luka karena penantian yang tak berujung ini. Aku sengaja mengambil kuliah kerja lapangan yang jauh dari hiruk pikuk ibukota.
Hamparan sawah yang menguning, burung yang berkicau hingga udara yang segar menelusup memenuhi rongga jiwa. Rumah semi permanen, lantai semen hingga dipan yang beralaskan kasur tua menjadi tempat tinggalku. Tidak ada TV plasma,AC apalagi kulkas. Untunglah masih ada listrik hingga aku bisa membawa laptop dan beberapa buku bacaan. Rumah ini disediakan untuk tenaga pengajar yang berasal dari luar kota. Mulai malam ini aku tidur dengan ditemani nyamuk, suara tokek dan jangkrik hingga angin yang berhembus kencang melewati sela – sela jendela yang mulai rapuh.
Ketakutanku menghadapi kenakalan anak – anak ternyata tidak terbukti. Semua muridku penurut dan sangat antusias dalam belajar. Aku terharu melihat mereka begitu sigap menjawab pertanyaan atas pelajaran yang sudah kuajarkan. Meski hanya beralaskan sandal dan seragam lusuh mereka tetap semangat.
Sore harinya aku di ajak Ningsih teman baruku yang sudah setahun lebih dulu mengajar berkeliling desa untuk dikenalkan pada penduduk. Keramahan dan kepolosan sangat terasa hingga aku tidak canggung berada diantara mereka. aku juga dikenalkan oleh anggota karang taruna yang berada dibalai desa. Para pemuda disini mengadakan banyak kegiatan dari mulai kesenian, olahraga hingga pengajian. Sore itu sedang ada latihan karate yang dikuti sekitar lima belas anak. Ningsih mengajakku untuk melihat mereka berlatih.
“ Yang mengajar itu namanya Mas Aan “ terang Ningsih menunjuk seorang pemuda yang memakai kaus hitam, bertubuh tinggi kurus, berambut gondrong, dan berkulit sedikit hitam. Wajahnya dihiasi jambang dan kumis yang lumayan lebat hingga memberi kesan angker.
“ Wajahnya sih serem tapi orangnya gak seseram itu kok !” ujar Ningsih seolah membaca pikirnaku.
“ Capek ya Mas Aan !” sapa Ningsih ramah. Sosok itu mengangkat wajahnya ia menatapku lama sebelum akhirnya bangkit.
“ Ini guru baru di sekolah kita “ terang Ningsih.
“ Vina !” sapaku ramah seraya mejulurkan tangan.
“ Aan “ jawabnya singkat membalas jabatan tanganku.
Selain mengajar karate ternyata Mas Aan juga menjadi guru bahasa Inggris. Hingga akhirnya aku datang ia akan tetap mengajar tapi hanya untuk dua kelas sedangkan sisanya adalah tugasku.
“ Mas Aan itu baik sekali, ia mau lho kasih les privat tanpa dibayar “ ujar Ningsih menguraikan kekagumannya.
Aku menganggukan kepala.
“ Jadi guru karate aja dia dibayar semaunya tapi gak pernah protes, pokoknya dia guru paling baik disini “
“ Kamu naksir dia ya ?” tembakku melihatnya begitu bersemangat menceritakan perihal Mas Aan. Ningsih tersipu malu.
“ Semua gadis disini juga naksir dia mbak ! tapi sayang orangnya dingin dan cuek kalo sama perempuan, dia baru bisa tertawa jika sudah sama murid – muridnya “ urainya.
Aku tersenyum tipis. Baru dua hari disini ternyata sudah ada kumbang desa yang jadi rebutan. Padahal dilihat fisiknya Mas Aan tidak cukup layak untuk diperebutkan. Mungkin rendah hati dan kebaikanya yang sudah membuat gadis di desa ini tercuri hatinya.
Tak terasa sudah dua bulan aku mengajar dan makin merasa nyaman. Warga desa menerimaku dengan sangat baik. Selama itu tak sekalipun aku kembali ke Jakarta meski untuk sekedar liburan. Aku lebih senang menghabiskan waktu dengan memberi tambahan pelajaran, belajar menganyam tikar, menanam padi hingga bercocok tanam. Tak kuperdulikan lagi kulit putihku berubah menjadi coklat karena terpanggang matahari. Aku sedang membereskan buku anak – anak saat melihat Mas Aan memperbaiki motor yang biasa dikendarainya. Memang cuma dia orang di desa ini yang bersikap dingin. Ia hanya mau bicara seperlunya itupun pada orang tertentu.
“ Motornya rusak mas Aan ?” tanyaku ramah memberanikan diri mendekatinya.
Ia yang sedang serius tersentak kaget mendengar suaraku. Ia mendongakkan kepalanya dan kami bertatapan. Untuk pertama kalinya kami beradu pandang dengan jarak yang begitu dekat. Entah kenapa aku merasa begitu kenal dengan sorot mata itu. Untuk beberapa saat aku terus menatapnya, hingga akhirnya ia membuang wajah dan buru- buru menyelesaikan pekerjanya lalu pergi tanpa menjawab pertanyaanku.
Tatap mata itu terus membayangiku. Ribuan kali kuyakinkan diri jika itu bukan tatapan mata yang selama ini kucari. Aku pasti sudah berhalusinasi. Gak mungkin Mas Aan itu Andre. Ah Gila ! untuk apa aku lari sejauh ini untuk melupakannya jika kali ini aku harus terbuai dengan tatap mata itu.
Ternyata rasa penasaran lebih besar dari kata hatiku. Seharian ini aku memperhatikan tingkah laku Mas Aan. Gak mungkin dia Andre. Tubuhnya yang kurus jauh beda dengan Andre yang berisi. Belum lagi warna kulit Andre yang putih, rambut yang rapih tidak gondrong berantakan seperti itu. Juga jambang dan kumis yang menghiasi wajahnya. Andre benci sekali jika wajahnya ditumbuhi bulu halus. Ku tepuk jidatku sendiri, mungkin semua ini hanya pelampiasan rasa rinduku padanya.
Hari ini Ningsih memaksaku main kerumah Mas Aan untuk melihat koleksi buku yang dimilikinya. Rumahnya cukup bagus, rapi dan bersih. Saat kami tiba ada beberapa anak yamg sedang membaca di teras rumahnya yang asri. Ia membuat ruang tamunya sebagai taman bacaan. Banyak buku, novel, kamus hingga majalah tersusun rapi.
Mas Aan sedang tidak ada di rumah karena harus pergi ke kota untuk mengambil buku – buku baru. Ia mendapatkanya dari relawan yang suka menyumbang buku bagi desa – desa di wilayah Semarang. Kupergunakan kesempatan itu untuk mengelilingi rumahnya. Tidak ada foto siapapun tergantung di dinding. Saat melewati ruang tengah aku tercekat kaget melihat figura yang berisikan medali dan gelang yang dirangkai menjadi satu. jantungku berdetak tidak karuan, figura itu terletak di sudut ruangan hingga tidak terlalu terlihat, tapi aku sangat mengenal kedua benda yang berada di dalamnya. Gak mungkin ! … gak mungkin itu milik Andre. Dengan gemetar kuraih figura itu dan membaca nama yang terukir di bagian atas gelang “Andre Yugaswara “ . Astaga ! ini benar milik Andre, jadi Mas Aan itu adalah ……
“ Mbak Vina ! kita harus ke rumah sakit sekarang, Mas Aan kecelakaan !” teriakan Ningsih bagaikan bom yang meledak di kepalaku.
Langkahku seperti tidak menapak bumi. Jantungku seraya terbang entah kemana. Kejadian dua tahun lalu tergambar jelas kembali di hadapanku. Ya Tuhan, kenapa harus aku yang menerima semua ini ? aku tidak sanggup lagi … aku tidak sanggup menanggung beban dan cobaan untuk yang kedua kalinya. Mati – matian aku bangkit dari keterpurukan yang selama ini memelukku. Susah payah aku berlari sejauh ini untuk memulai hidup baruku, kenapa sekarang harus terjadi lagi ?.
Airmataku tidak berhentinya turun. Apa yang akan kukatakan pada Om Adi jika sesuatu yang buruk terjadi pada Andre ? apa yang harus ku lakukan jika harus menerima kenyatan menyakitkan hati.
Setelah hampir satu jam menunggu akhirnya dokter memberitahu jika Mas Aan hanya mengalami luka ringan. Ia sempat pingsan karena ada sedikit benturan tapi untunglah bukan gegar otak. Ningsih segera menelepon kepala desa untuk memberi kabar.
“ Syukurlah kamu cuma luka ringan “ ujarku pada sosok tubuh dihadapanku yang sedang memeriksa lenganya yang diperban. Ia menganguk kecil. Kutatap wajahnya dengan perasaan campur aduk.
“ Andre, kenapa kamu harus lari sejauh ini ?” ujarku tak tahan lagi dengan perasaanku. Aku kembali menangis. Ia menatapku lama hingga akhirnya mata itu memerah dan basah. Bibirnya bergetar seolah menahan sesuatu. Tanganya mengepal keras.
“ Kamu masih simpan medali terakhir dan gelang hadiah ulang tahun dariku “ isakku. Ia menundukkan wajahnya. Kuraih tanganya.
“ Banyak hal yang sudah terjadi “ ujarku pelan.
“ Aku tahu “ jawabnya parau.
Dengan suara terbata dan penuh sesal terurailah jika selama ini ia mendapatkan infromasi dari Reno tetangga sebelah rumah yang juga teman baiknya. Keadaan keluarga, kematian mamanya, hingga keputusan papanya untuk pulang kampung. Ia merasa amat bersalah dan menyesali semua tindakan bodohnya. Saat mengetahui mamanya meninggal ia memutuskan untuk tidak pernah kembali dan melupakan semuanya. Ia menganggap dirinya telah mati dan berubah menjadi sekarang hingga tak seorangpun mengenalinya.
“ Kamu salah, Dre ! Om Adi selalu berharap kamu kembali kapanpun kamu mau dan siap, hanya tinggal beliau orang tuamu, apa kamu gak ingin menghabiskan sisa hidupmu untuk menemaninya “ terangku berusaha memberinya pengertian.
Ia terdiam lama. Obrolan kami terhenti karena Ningsih dan Pak Kepala Desa tiba untuk menjemput karena ia sudah diperbolehkan pulang.
***
Tiga hari Andre tidak datang ke sekolah untuk mengajar. Aku sudah berjanji pada diriku untuk tidak memaksanya lagi. Kubiarkan ia memilih hidup sesuai pilihanya. Kalaupun ia harus lari lagi, aku ikhlas. Mungkin memang seperti inilah jalan cinta kami. Setidaknya aku bahagia saat mengetahui selama ini ia baik – baik saja.
Aku sedang menjemur pakaian saat melihat sosok tubuhnya berdiri di hadapanku. Ia mencukur seluruh jambang dan kumisnya. Ia juga membabat habis rambut gondrongnya. Ia benar – benar Andre yang selama ini ada dalam hati dan hidupku. Meski tubuh kurus dan kulit hitam sedikit membuatnya jelek tapi tatapan penuh cinta dan senyum itu kembali terhias disana.
Tak ada yang bisa kuungkapkan, hanya airmata bahagia yang terus mengalir . ia merengkuh tubuh dan memelukku.
“ Temani aku melewati semua ini, Vin “ bisiknya lirih.
Aku mengangguk keras. Ia mempererat pelukannya seolah tidak akan pernah lagi melepaskanku.
“ Kamu tidak akan sendirian, Dre ! aku janji !” ucapku dalam hati.
***
Di muat di Tabloid Gaul 2011

CINTA SEGI EMPAT


Entah apa yang terjadi antara aku, Irin, Riko dan Adit. Jika di telusuri mirip sekali dengan sinetron korea. Aku dan Riko berteman sejak kecil. Di mataku Riko bagaikan dewa yang siap menolongku kapan saja. Ia selalu ada saat aku sedang sedih ataupun senang. Rasanya hingga aku sebesar ini aku tidak perlu orang lain untuk menjagaku. aku selalu menganggap Riko segalanya untukku.
“ Kenapa kalian gak pacaran aja sekalian “ ujar Irin melihat betapa hebohnya saat aku cerita habis nonton film bareng Riko.
“ Hah ! pacaran ?” ulangku.
“ Iyalah pacaran ! sekarang mungkin Riko belum punya pacar, tapi jika suatu hari dia naksir cewek lain gimana ? “
Selama dua belas tahun bersahabat dengan Riko baru kali ini terlintas di kepalaku tentang pacaran. Selama ini ia tidak pernah dekat cewek manapun begitu juga aku.
“ Oh iya , Kalian pasti gak bakalan jatuh cinta udah bosen main bareng dari TK” ujar Irin mengambil kesimpulan sendiri.
Aku masih termangu. Tidak mungkin jatuh cinta ?
“ Gue sebel nih Adit maksa terus minta jawaban gue mau apa enggak jadi pacarnya “ ujar Irin membahas masalahnya.
“ Adit ganteng, keren dan baik kenapa lo masih bingung ?” tanyaku.
“ Dia bukan tipe cowok gue “ keluhnya
“ Dia udah komplit kale .. mau yang seperti apa lagi ?” rutukku sebal
“ Hm, … pengen seperti Riko yang baik, perhatian dan sayang banget sama lo “ ujarnya iri.
Aku tertawa mendegarnya.
“ Coba Riko punya kembaran ya !” ujarnya penuh harap.
Entah kenapa kalimat yang diucapkan Irin terus terngiang di hati dan otakku. Bagaimana jika Riko jatuh cinta pada cewek lain ? Apa yang harus ku lakukan saat itu terjadi ? apa ia masih menjadi dewa penolongku ? apa ia masih akan selalu ada untukku ?. ku raba hatiku selama ini aku tidak kenal cowok lain selain papa dan Riko. Apa sebenarnya aku sudah memberikan seluruh hatiku padanya ?.
***
“ Kamu nanti bisa pulang sendiri khan ?” tanya Riko saat menyambangiku di kelas.
“ Emang kamu mau kemana ?”
“ Aku ada latihan basket “
Aku mengangguk. Ku tatap tubuhnya yang pergi menjauh. Kenapa tiba – tiba aku gelisah. Selama ini jika ia sibuk dengan hal lain dan tak bisa menemaniku tak pernah kurasakan hal ini. kenapa kali ini hatiku resah.
“ Lita… gue seneng banget !” teriak Irin saat menelponku.
“ Lo terima cintanya Adit ?” tembakku.
“ Idih, enggak lah ! lo mau ama Adit ? ntar gue comblangin “ tawarnya
“ Lo kira dia barang ! gak sopan “
“ Lo tau gak hari ini gue pulang bareng siapa ?” aku disuruhnya menebak
“ Meneketehe “ jawabku asal.
“ Sama Riko ! tadi gue pulang telat gara- gara nyalin soal di perpustakaan eh ketemu Riko selesai latihan basket trus dia nawarin pulang bareng, ya gue mau banget lah secara dia selalu berduaan terus sama lo “ cerocosnya.
“ Oh ya ! trus dianterin sampe rumah gak ?”
“ Ya iyalah, trus dia mampir bentar deh ! emang tuh cowok baik banget ya ! “
Entah apa lagi yang diucapkan Irin aku tidak mendengar. Hatiku sudah dipenuhi perasaan aneh. Ada yang berdetak hebat di jantungku. Hawa panas tiba - tiba bersemayam di sana. Aku sampai tak sadar jika Irin sudah menutup teleponya.
“ Kemarin aku pulang bareng Irin “ ujar Riko saat kami pulang bareng dan mampir minum es kelapa.
“ Iya Irin cerita “ jawabku pendek.
“ Sohib kamu itu lucu juga ya ! “
Aku mengernyit heran menatap wajahnya. Apa maksud ucapanya.
“ Kamu naksir ?” tanyaku dengan hati mulai bergemuruh.
Riko tertawa lepas lalu mengacak rambutku.
Tapi siapa dinyana setelah kejadian Riko mengantar Irin. Perasaan Irin padanya berubah. Ia jatuh cinta pada Riko dan minta tolong padaku untuk menjadi mak comblang. Aku tidak tahu harus berkata apa. Ingin rasanya menolak tapi melihat perasaan Irin yang terlihat sungguh –sungguh membuatku tidak tega. Akhirnya hanya anggukan kepala yang kuberikan padanya.
“ Aku minta tolong kamu antar Irin ke toko buku mau gak ?” tanyaku pada Riko.
“ Bukanya dia biasanya sama kamu ?” tanyanya balik.
“ Hari ini aku ada les inggris, kasihan dia gak ada yang nemenin “ bujukku.
“ Ya udah “ jawabnya pendek lalu meninggalkanku dan menghampiri Irin yang sudah menunggunya. Irin memberikan jempolnya padaku dan aku tersenyum membalasnya. Entah kenapa ada yang perih di hatiku melihat pemandangan itu. Aku tidak rela melihat Riko pergi bareng Irin. Ya Tuhan apa sebenarnya selama ini aku sudah jatuh cinta pada Riko ?
Sebenarnya aku bohong pada Riko jika hari ini ada les inggris. Itu permintaan Irin untuk mendekatkan dirinya dengan Riko. Alhasil sekarang aku harus pulang sendirian.
“ Lita , kok pulang sendirian ?” suara Adit dari dalam mobil menghentikan langkahku menuju halte bus.
“ Ayo masuk !” ajaknya seraya membuka pintu mobil.
Aku menatap wajah Adit yang sedang menyetir. Kenapa Irin tidak mau menerima cinta cowok sekeren ini. Adit juga baik dan perhatian buktinya ia menawariku tumpangan.
“ Ternyata susah ya naklukin hati sohib lo “ ujar Adit membuka pembicaraan
“ Irin memang agak plin plan tapi kalo lo lebih gigih berjuang pasti bisa “ ujarku memberi semngat.
“ Gak tau lah ! kayaknya dia lebih suka sama Riko udah beberapa kali gue lihat mereka pulang bareng “
Aku diam tak menanggapi.
“ Gue kira Riko itu pacar lo soalnya dua tahun sekolah disini kalian selalu berdua “
“ Kami bersahabat “ putusku pelan.
Aku memainkan jariku. Hatiku makin resah. Sepertinya Adit mulai pasrah dan tidak mau lagi meneruskan perjuangannya mengejar cinta Irin.
***
Aku sengaja mematikan hp agar Irin tidak menelpon dan bercerita tentang acara siang tadi. Aku tidak mau mendengarnya. Aku belum siap mendengar nada bahagia keluar dari sana. Ku pandangi foto – fotoku dengan Riko. Selama ini tidak pernah terpikir olehku Riko akan jatuh cinta pada orang lain. Selama ini aku selalu merasa dia hanya untukku. Aku tidak tahu bagaimana hidupku nanti tanpa dirinya ?
“ Lit, Riko di depan tuh !’ teriak mama dari luar kamar. Aku buru – buru bilang pada mama jika sudah tidur. Mama heran karena biasanya aku paling senang jika Rico datang karena ada teman main PS bareng. Aku juga tidak mau mendengar hal yang sama dari Rico. Aku tidak mau mendengar apapun dari mereka berdua.
Keesokan paginya aku berangkat lebih pagi tidak menunggu di jemput Rico. Untunglah kami bertiga tidak sekelas jadi waktu bertemu hanya jam istirahat. Aku sengaja tidak makan siang dan memilih menyendiri di perpustakaan agar tidak bertemu dengan Irin dan Riko. Aku benar – benar takut mendengar apa yang akan mereka ceritakan. Aku belum siap terluka.
“ Kok gak makan siang ?” tanya Adit yang tiba – tiba saja ada di depanku.
“ Eh lo, kirain disini gue sendirian … gue gak terlalu lapar “ ujarku bohong.
Akhirnya kami habiskan jam istirahat dengan mengobrol. Sebenarnya Adit cowok yang asyik. Kemarin saat pulang bareng ia banyak bercerita tentang dirinya. Aku heran kenapa Irin menolak cowok sebaik dan sekeren ini.
“ Tadi pagi kenapa gak tunggu aku ?” tanya Riko saat menemuiku pulang sekolah.
“ Aku lupa ngerjain peer, jadi butuh contekan “ jawabku asal.
“ Kamu khan bisa telp suruh aku berangkat pagi “ ujarnya.
“ he.. he lupa “
“ Semalam kenapa tumben jam …
Belum sempat Riko melanjutkan pertanyaannya Irin sudah menarik tanganya.
“ Nanti malam aku ke rumah, jangan tidur !” ujarnya sebelum mengikuti arah kaki Irin. Aku mengangguk sambil tersenyum. Rasa perih makin terasa sekarang. Mereka layaknya orang pacaran. Irin begitu mesra menggamit lengan Riko yang berjalan disisinya. Aku menahan air mata agar tidak runtuh. Seperti inikah rasanya kehilangan seseorang.
“ Lit, ayo pulang bareng gue !” suara Adit membuatku kaget. Kenapa cowok ini selalu muncul di hadapanku tanpa pernah di duga sih … kayak hantu aja !
Untuk menghilangkan rasa sakit aku nekat mengajak Adit jalan – jalan dan nonton. aku ingin melupakan Riko dan Irin. Untunglah Adit seorang yang ceria hingga ia bisa membawaku melupakan hati yang perih. Hampir jam sembilan malam saat kami pulang. Riko sudah menungguku di teras.
“ Ngapain Riko disini ?” tanya Adit melihat tubuh Riko yang berdiri melihat kedatangan kami.
“ Dia khan tetangga gue paling mau ngajakin main PS” jawabku asal.
“ Lit .. gak tahu kenapa gue seneng banget hari ini jalan sama lo “ ujar Adit pelan. Aku menatap wajahnya tak mengerti.
“ Besok boleh khan gue sering – sering ngajak lo jalan “ tanyanya lagi sambil memegang tanganku. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Ada apa dengan cowok ini ? kenapa sikapnya jadi seperti ini ?
“ ok … “ jawabku ragu. Ia terseyum bahagia sebelum akhirnya membuka pintu mobil dan pamit meninggalkanku.
“ Darimana jam begini baru pulang ?” tanya Riko ketus saat aku sudah di hadapanya. Aku menatapnya aneh.
“ Kenapa bisa sama Adit ?” tanyanya lagi masih dengan nada yang sama
“ Kamu kenapa ? lagi ribut ama Irin ? jangan di limpahin ke aku dong !” ujarku tak suka dengan kalimat ketusnya. Ia menariku untuk duduk
Aku diam. Hari ini sungguh membingungkan. Sikap Adit yang berubah aneh. Sekarang sikap Riko juga aneh.
“ Kamu mau cerita apa ? aku capek nih … besok aja gimana ?” ujarku setelah lewat sepuluh menit hanya diam .
“ Kamu berubah “ ujarnya pelan.
“ Berubah gimana ? enggak lah ! cuma hari ini aku beneran capek “
Riko mendesah pelan sebelum akhirnya bangkit dan pulang tanpa bicara apa – apa. Ada yang hangat di kedua mataku. dan itu air mata. Tuhan, kenapa aku tidak pernah siap mendengar apapun dari bibir Riko. Kenapa aku tidak bisa menerima kenyataan. Kenapa aku selalu lari dan menghindar. kuhempaskan tubuh dengan perasaan kesal.
***
Adit dan Lita
Aku menatap wajah Adit yang serius saat mengungkapkan perasaanya. Ia jatuh cinta padaku. Kebersamaan kami beberapa hari ini membuatnya terkesan. Entah apa yang kurasakan saat ini. harusnya bahagia bisa di cintai oleh cowok sebaik, sekeren dan sekaya Adit. Tapi hatiku tetap kosong. Tidak ada sedikitpun nama Adit terukir disana. Dua belas tahun terakhir cuma ada Riko, Riko dan Riko …. Dan aku tak tahu butuh waktu berapa lama untuk menghapus dan mengantinya dengan nama lain.
“ Gimana Lit ? kamu mau khan jadi pacarku “ tanyanya penuh harap.
Aku menarik nafas. Aku tidak tahu harus lari dan sembunyi sampai kapan. Aku mengangguk sambil tersenyum. Adit menggenggam erat tanganku seraya mengucapkan terima kasih. Ada luka yang tambah menganga di hatiku.

Riko dan Irin
Riko menatap Irin yang sedang membereskan buku pelajaranya. Biasanya Lita yang melakukan hal itu jika usai belajar bareng. Apa yang sedang dilakukannya dengan Adit ? apa ia sudah melupakan kenangan selama dua belas tahun ini ? sebegitu mudahnya ia melupakan kenangan itu. Riko menghela nafas untuk mengurangi pedih yang terasa di dada. Ingin rasanya ia berteriak pada Lita agar gadis itu tahu perasaannya yang sesungguhnya. Ingin rasanya ia berlari memberitahu Lita bahwa di hatinya cuma ada Lita .. Lita … dan Lita.
Irin menatap wajah Riko yang sedang termenung. Ia yakin waktu akan membuat Riko bisa mencintainya. Walau untuk itu ia harus menunggu entah sampai kapan.

Di muat di Majalah Teen 2011